favicon
Mari Dukung Pelestarian Sejarah Gresik
Donasi

Inkripsi Islam Tertua Di Indonesia : Makam Siti Fatimah Binti Maimun

   
Inkripsi Islam Tertua Di Indonesia : Makam Siti Fatimah Binti Maimun

Inkripsi Islam Tertua Di Indonesia : Makam Siti Fatimah Binti Maimun




Nisan Fatimah binti Maimun telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Repulik Indonesia Nomor : 379/M/2019. Benda Cagar Budaya Nisan Fatimah binti Maimun memiliki tinggi 63 cm, lebar 46 cm, dan tebalnya 5 cm.

Bukti tertua arkeologi petilasan Islam di Nusantara adalah keberadaan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang terletak di Dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik yang inskripsinya menunjuk kronogram 475 H/1082 M. Secara arkeologis, makam Fatimah yang terletak di desa Leran, 12 KM di sebelah barat kota Gresik dianggap sebagai satu-satunya peninggalan Islam tertua di Nusantara, yang tampaknya berhubungan dengan kisah migrasi Suku Lor asal Persia yang datang ke Jawa pada abad ke-10 M. 

Untuk sampai ke kompleks makam Fatimah binti Maimun, dapat dilakukan dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dari Gresik atau dari Surabaya. 

Dari Surabaya, kendaraan pribadi dapat mencapai Leran melalui jalan tol jalur Demak- Tandes- Manyar. Dari pintu keluar tol Manyar, kendaraan meluncur ke barat sekitar 4-5 km belok ke kiri sudah masuk Leran dengan tanda papan petunjuk ke makam Fatimah binti Maimun terpasang di pinggir jalan raya. Jika menggunakan kendaraan umum, peziarah harus berangkat dari Gresik dengan menggunakan bus atau angkutan umum jurusan Gresik- Sedayu Paciran- Tuban.

Ditinjau dari aspek toponim, nama-nama dusun sekitar makam Fatimah binti Maimun menunjuk pada kekhususan wilayah pada masa silam. Toponim Wangen (tapal batas), Pasucian (tempat suci), Penganden (Tempat kaum ningrat), Kuti (Vihara Buddha), dan Daha (kemerahan) menunjuk kawasan sekitar kompleks makam adalah wilayah khusus berstatus sima yang bebas pajak dan dikeramatkan oleh masyarakat.

Menurut J.P.Moquette dalam De Oudste Mochammadaansche Inscriptie op Java (op de Grafsteen te Leran) yang membaca inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun, yang berangka tahun 475 H itu, bunyi tulisannya sebagai berikut.


Bismillâhirrahmânirrahîm, kullu man 

‘alaihâ fânin wa yabqâ wajhu rabbika dzul jalâ 

li wal ikrâm. Hâdzâ qabru syâhidah 

Fâthimah binti Maimûn bin Hibatallâh, 

tuwuffi yat 

fî yaumi al-Jum’ah.... min Rajab 

wa fî sanati khamsatin wa tis’îna wa arba’ati 

mi`atin ilâ rahmat (sebagian orang membaca 

“wa tis’îna” dengan “wa sab’îna”) 

Allâh... Shadaqallâh al-‘azhîm wa rasûlihi al

karîm.

Menurut Prof. H.M. Yamin, terjemahan J.P. Moquette atas inskripsi batu nisan makam Fatimah binti Maimun itu sebagai berikut. 


Dengan nama Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Tiap-tiap 

makhluk yang hidup di atas bumi ini adalah bersifat fana. Tetapi wajah Tuhanmu 

yang bersemarak dan gemilang tetap kekal adanya. Inilah kuburan wanita yang 

menjadi korban syahid, bernama Fatimah binti Maimun, putr[a] Hibatallah, yang 

berpulang pada hari Jumat ketika tujuh sudah berlewat dalam bulan Rajab dan 

pada tahun 495 H (sebagian membaca 475 H), [yang menjadi kemurahan Tuhan 

Allah yang Mahatinggi], beserta Rasul-Nya yang mulia. 


Di balik bidang batu nisan Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 H/495 H itu, terdapat petikan ayat al-Qur’an Surah ar-Rahman ayat 55. Petikan ayat al-Qur’an tersebut ditulis dengan huruf kufi. 

Menurut Hasan Muarif Ambary dalam Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, petikan ayat al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia. 

Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan, memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga ( Panh-Rang) di wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. 

Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ke-11 M. Angka tahun 475 H atau 495 H jika dikonversi dengan tahun Masehi bertepatan dengan tahun 1082 atau 1102 Masehi. 

Menurut Jere L. Bacharach dalam The Middle East Studies Handbook, tanggal 1 Muharram 475 H sama dengan 1 Juni 1082 M. 1 Muharram 495 H sama dengan 26 Oktober 1101 M.  

Jika bulan hijriyah jatuh pada bulan ketujuh atau Rajab maka bulan Rajab tahun 475 H tepat dengan tahun 1082 Masehi. Sedangkan bulan ketujuh pada tahun 495 H jatuh pada tahun 1101 M. Jadi, pembacaan inskripsi batu nisan makam Fatimah binti Maimun lebih sesuai dengan tahun 475 H. 

Berdasar hasil galian arkeologis di Dusun Leran, Desa Pesucian, Manyar, Gresik di sekitar kompleks makam Fatimah binti Maimun yang berupa mangkuk mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi. 

Dapat diketahui bahwa di sekitar tempat tersebut pernah tinggal komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan Cina di utara dan India di selatan serta Timur Tengah. 

Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau merupakan pemukiman perkotaan dan perdagangan. Di antara pemimpin yang ada pada waktu itu adalah Fatimah binti Maimun. Kata asy-Syâhidah yang tertulis dalam inskripsi bisa dimaknaiwanita korban syahid’ seperti ditafsirkan H.M. Yamin, namun bisa juga dimaknai ‘pemimpin wanita’. 

Bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun, pada satu sisi dapat dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman bernama Loram dan Leran. 

Itu berarti, Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jumat, bulan Rajab, tahun 475 H/1082 M itu, bukanlah seorang wanita asing melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan Leran sejak abad ke-10 Masehi. 

Tidak jauh di sebelah tenggara Leran terdapat Desa Roma, yang menurut tradisi lisan nama desa tersebut berasal dari bermukimnya lima orang Rum ( Persia) di tempat tersebut pada masa silam. 

Sepanjang rentang waktu berabad-abad di tengah komunitas Hindu buddhis, Dusun Leran pernah menjadi tanah perdikan (sima ri Leran) sebagaimana Prasasti Leran dari abad ke-13, yang terbuat dari tembaga, yang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno itu, bunyinya sebagai berikut :

Pahinangi sang hyang sima ri Leran, purwa akalihan wates galengan sidaktan 

lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si dukut, angalor 

atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut galenging tamba ri 

susuk ning huluning batwan....mwah rahyangta kutik nguni matengo irikan susuk 

ri batwan ngaranya.


Menurut isi prasasti Leran, sima ri Leran adalah tanah perdikan bebas pajak, yang sebagian penduduknya pedagang, batasnya di sebelah timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang disebut milik Si Dukut; di utaranya pula berbatasan dengan tambak Si Bantawan; lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. 

Di tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyangta Kutik. Berdasar bunyi Prasasti Leran, di area sekitar makam Leran—di mana terdapat makam Fatimah binti Maimun—pada masa Singasari- Majapahit pernah dijadikan daerah perdikan (sima) bebas pajak. Tetapi tidak jelas, apa yang disebut susuk ri batwan (tempat suci di batwan) yang dijadikan persemayaman arwah Rahyangta Kutik. 

Sebab, di Dusun Leran tidak ditemukan bekas reruntuhan candi. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan yang disebut susuk ri batwan itu adalah makam Fatimah binti Maimun yang identitas Keislamannya pada abad ke-13 sudah kurang jelas. Penduduk Leran dan sekitarnya yang pada abad ke-13 banyak menganut agama Syiwa-buddha, kemungkinan menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai susuk (tempat suci) di batwan dan almarhumah Fatimah binti Maimun dianggap sebagai arwah suci Rahyangta Kutik, di mana kata kuti dalam bahasa Sanskerta bisa bermakna ‘biara Buddha’ dan bisa pula bermakna ‘gubuk’. 

Di dalam naskah Buddhis berjudul Kunjarakarna, kutik dihubungkan dengan kata dharma kutika kamulan katyagan, yaitu makam suci persemayaman arwah yang mula-mula mendirikan pertapaan. 

Itu berarti, di tanah perdikan Leran pernah hidup sekumpulan orang-orang di sebuah pertapaan yang menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai tempat suci. 

Di sekitar makam Fatimah binti Maimun berserak makam-makam lain yang tidak berangka tahun, tetapi menurut kajian arkeologis makam-makam tersebut memiliki pola ragam hias dari abad ke-16. Jenis nisannya seperti yang ditemukan di Champa, berisi tulisan berupa doa-doa kepada Allah. 

S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia menyatakan pendapat bahwa jenis tulisan kufi pada nisan di makam-makam sekitar makam Fatimah binti Maimun yang berisi doa, kemungkinan dibuat seorang penganut Syi’ ah. Hal itu didasarkan argumen bahwa saat itu muslim yang datang ke Nusantara kebanyakan berasal dari Persia yang kemudian bermukim di timur jauh. 

Salah satu muslim asal Persia yang datang ke Nusantara, lanjut Fatimi, adalah suku Lor dari Persia yang melakukan migrasi ke Nusantara pada abad ke-10 Masehi. 

Keberadaan makam-makam di sekitar makam Fatimah binti Maimun yang menurut penelitian arkeologis berasal dari abad ke-16 itu, sangat mungkin berkaitan dengan dakwah Islam yang dilakukan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada perempat akhir abad ke-14 dan perempat awal abad ke-15. 

Menurut cerita masyarakat setempat, awal sekali ia datang ke Jawa adalah di Desa Sembalo di sebelah Dusun Leran. 

Ia dikisahkan mendirikan masjid untuk ibadah dan kegiatan dakwah di Desa Pesucian. Setelah membentuk komunitas muslim di Pesucian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikisahkan pindah ke Desa Sawo di Kota Gresik. 

Thomas S. Raffles dalam The History of Java, mencatat cerita penduduk setempat yang menyatakan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang pandita termasyhur berasal dari Arabia, keturunan Jenal Abidin ( Zainal Abidin), dan sepupu Raja Chermen, telah menetap bersama Mahomedans (orang-orang Islam) lain di Desa Leran di Janggala. 

Kiranya makam-makam yang berasal dari abad ke-16 itu, berhubungan dengan komunitas Islam yang dibentuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Leran pada perempat akhir abad ke- 14. Dan, tentunya mereka sangat memuliakan makam Fatimah binti Maimun yang dianggap sebagai makam muslimah, yang lebih tua, sehingga mereka yang hidup pada abad ke-16 itu merasa bangga dimakamkan di area makam tua yang dikeramatkan tersebut.

Sumber : Atlas Wali Songo, Prof Agus Sunyoto, hal. 56


 

Last update
Add Comment